Selasa, 29 Januari 2013

analisis sastra al mutanabbi


AL MUTANABBI (Sastrawan Masa Abasiyyah)
Oleh: Heru Prastyo Adi, Khotibul Umam, Fithrotun Mufidah, Nasirotul Alawiyah, Isti’adah Zakiyah

PENDAHULUAN
Study tokoh sastra arab merupakan sebuah study sastra yang pembahasanya memusatkan pada biografi kehidupan tokoh-tokoh sastra arab, baik itu melingkupi pemikirannya, karya-karyanya, kontibusi keilmuanya dan pengaruhnya terhadap sastrawan yang hidup sejaman maupun generasi berikutnya. Dalam periodesasinya study tokoh bahasa arab tidak terlepas dari sejarah sastra dan peradaban arab itu sendiri. Pada masa pra islam kita mengenal ilmu ini dengan sebutan study tokoh sastra arab jahili karena membahas biografi kehidupan tokoh-tokoh sastra arab pada masa itu, selanjutnya pada masa Islam melalui beberapa masa perkembangan yakni masa Rasulullah sampai Khulafaurasidin, masa Daulah Bani Umayah, masa keemasan Daulah Abbasiah dan masa Turki Usmani disebut dengan study tokoh sastra arab klasik. Setelah runtuhnya masa kesultanan Turki Usmani dan masuknya ekspansi Napoleon Bonaparte ke Mesi, maka pada masa ini sudah menjajaki era modern sampai sekarang dan kita mengenalnya dengan study tokoh sastra arab modern.
Pada makalah ini penulis akan memaparkan study tokoh sastra arab klasik yang hidup pada masa keemasan Islam yakni masa Daulah Abbasiyah. Pada masa ini hidup seorang tokoh sastra yang bernama Ahmad bin Khusain bin Khasan al-Jufi atau dunia lebih mengenalnya dengan sebutan al-Muatanabbi. Penulis menekankan pada study biografinya, perjalanan kehidupan pengembaraannya yang selalu berpindah-pindah tempat dalam rangka mencari kehidupan serta analisis karya sastranya (tujuan dan perihal syi’ir, analisis kata, gaya bahasa serta perasaan).

PEMBAHASAN
A.     Al Mutanabbi
1.      Biografi Al Mutanabbi
Al-Mutanabbi merupakan salah satu penyair besar yang hidup pada masa dinasti Abbasiyah. Nama aslinya adalah Ahmad bin Khusain bin Khasan al-Jufi. Beliau lahir tepatnya pada tahun 303H/915M. Ia lahir dari kalangan keluarga miskin didaerah Kindah, Kufah. Ayahnya bernama Khusain bin Khasan bin Abdul al-Shamad, tetapi ada riwayat lain yang mengatakan bahwa nama ayahnya adalah Muhamad bin Murrah bin Abdul Jabbar. Sementara Ibunya seorang Hamdzaniyyah yang namanya tidak diketahui secara jelas. Ayahnya bekerja sebagai penjual air keliling di kampungnya, sehingga tidak aneh kalau mendapat gelar Abd al- Saqa.
Melihat dari keadaan ekonomi keluarganya yang miskin, saat masih kecil Al-Mutanabi mempunyai bakat kepenyairan yang hebat dan sudah terlihat. Melihat itu ayahnya sangat bersikeras membanting tulang bekerja untuk membiayai masalah pendidikannya dan berusaha mencarikan ulama yang mashur untuk dijadikan guru dalam mendidik anaknya terutama dibidang bahasa dan sastra. Diantara para guru beliau adalah Ibnu Siraj, Abu al-Hasan al-Akhfasy, al-Zajjaj, Abu Bakar Muhamad bin Duraid dan Abu Ali al-Farisi.
Saat dewasa bakatnya dalam bersyair sudah tak terjawantahkan lagi, ia bergumam untuk menjadi seorang penyair sejati, dan bertekad untuk mencari penghidupan sebagai seorang penyair dan menjual syair-syairnya kepada para penguasa dan orang-orang kaya yang berduit. Sejak saat itu ia berusaha keras untuk mendekati para penguasa untuk membacakan syair madhnya, ataupun membacakan syair hija’nya yang sangat kuat dan luar biasa agar meraih simpati penguasa itu, sehingga ia mencapai puncak kejayaannya sebagai penyair resmi istana pada masa Sayf al-Daulah dari dinasti Khamdan di Aleppo, Syiria. Sepanjang karirnya, al-Mutanabbi dikenal sebagai penyair handal dalam bidang puisi pujian (madh), yakni satu ragam puisi pujian yang digunakan untuk menyanjung seseorang. Selain itu ia handal di bidang puisi I’tidzar, ia juga sangat piawai dalam bidang puisi hija’ dan ratapan. Oleh karena itu, Toha Husen, seorang kritikus sastra Arab modern, mengatakan bahwa kedudukan al-Mutanabbi layaknya pemimpin para penyair pada zamannya karena ketajaman puisinya.
Namun dilain sisi kepiawaian dan kemasyhurannya dalam bersastra Al-Mutanabi memiliki watak dan kepribadian jelek, pemikiranya keras, suka berubah-ubah tak tentu arah, tidak mudah tunduk pada penguasa manapun, dan terlihat sombong. Ia dikenal sebagai pemberontak mungkin karena banyak dari syair-syair hija’nya yang keras secara blak-blakan mengkritisi penguasa setempat, terlebih lagi ia pernah terlibat dalam gerakan politik Syiah Qaramatihah yang ekstrim. Akibatnya ia tidak saja keluar masuk istana para penguasa akan tetapi ia juga keluar masuk penjara.
 Di dalam literatur sastra Arab disebutkan bahwa al-Mutanabbi menjalani karirnya sebagai penyair madh dengan mencari perlindungan kepada penguasa dalam lingkungan dinasti Abbasiyah. Pada awalnya ia masuk dalam klan Tannukh dan keluarga Taghj mempersembahkan puisi madhnya, kemudian ia memuji Badr bin Amar dan Abu al-‘Asyair, berikutnya adalah Saif al-Daulah, penguasa dinasti Hamdaniyah; Kafur, penguasa dinasti Ikshidiyah, dan Adad ad-Daulah, penguasa sentral dinasti Abbasiyah dari keluarga Buwaih. Semua itu dilakukan semata-mata bukan untuk mencari perlindungan akan tetapi untuk mencari penghidupan dengan membacakan dan menjual syair pujiannya itu.
2.      Penamaan Al Mutanabbi
Al-Mutanabbi sendiri bukanlah berasal dari pemberian orang tuanya, namun nama ini diberikan oleh orang orang lain sejak mudanya, dari sinilah muncul berbagai versi yang mengakibatkan kontroversi di kalangan masyarakat. Sebagaimana disebutkan, secara leksikal kata “al-Mutanabbi” berarti orang yang mengaku dirinya sebagai Nabi. Tetapi menurut seorang ahli sejarah (Imam al-Khatib al-Baghdadi) mengatakan bahwa Abu Tayyib yang tak lain adalah al-Mutanabbi digelari Al Mutanabbi karena berasal dari keturunan keluarga Alawi Hasani (Keturunan Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali bin Abi Thalib) dan kemudian mengaku sebagai Nabi, pengakuan ini dibuatnya ketika dia menetap di Kalb sebuah kampung di Syria, tetapi setelah diteliti, ternyata pengakuan ini tidaklah benar.
Kisah lain menyebutkan, pada suatu hari Abu Tayyib Ahmad diminta untuk mengendarai unta betina liar oleh bani Adi (suku di Syria), bila dia berhasil maka dia akan diakui sebagai Nabi, ternyata dia berhasil mengendarai unta itu dan membuatnya menjadi binatang yang jinak, kejadian inilah yang membuat bani Adi yakin bahwa Abu Tayyib mempunyai kekuatan tertentu yang sama dengan Nabi. Masih di sekitar suku ini, cerita lain mengatakan, pada suatu hari ada seorang yang terluka parah terkena pisau, kemudian Abu Tayyib hanya dengan meludahi bagian yang terluka dan menekannya dengan kuat sehingga luka itu sembuh. Peristiwa itu membuat suku kabilah Adi semakin yakin bahwa dia adalah Nabi. Cerita yang tak kalah serunya adalah pengakuan dirinya sebagai Nabi, ketika Abu Tayyib membaca 114 kalimat dari Al Quran dan memperlihatkan kemukjizatannya kepada orang orang yaitu dengan menahan derasnya air hujan yang turun agar tidak membasahi tempat dimana ia berdiri, ternyata memang benar bahwa hujan hanya turun di sekelilingnya dan tidak membasahi tubuhnya, peristiwa inilah makin memperkuat pengakuannya sebagai seorang Nabi. Menurut pakar bahasa dan ahli sastra Arab, Ibrahim al-Yajizi, cerita dan kisah di atas tidak benar dan tidak berdasar. Untuk membuktikan hal ini al-Yajizi kemudian mengumpulkan semua syair syair al-Mutanabbi dalam sebuah buku berjudul “Diwan al-Mutanabbi” yaitu kumpulan syair-syair al-Mutanabbi.
3.      Fase-fase perjalanan kepenyairannya
a)      Fase pertama; Petualangannya di Syam (321-336 H / 933-948 M)
Pada fase ini yakni memaparkan kehidupannya yang dimulai setelah di keluar dari penjara dan mulai mengembara di Syam untuk muji para penguasa dan pembesar saat itu. Di Syam al-Mutanabi belajar ilmu bahasa dan retorika kepada para ahlinya sehingga kepiawaianya dalam berbahasa dan berretorika sangat terkenal dan sulit dicari tandingannya. Ada yang menarik pada fase ini ia yaitu beliau dua kali keluar masuk penjara dikarenakan keserakahannya akan kekuasaan. Beliau menyerukan kepada para pendukungnya untuk membaiatnya atas kepiawaian bersastra beliau dan pengklaiman dirinya sebagai seorang nabi.
b)      Fase kedua menjadi penyair istana di Aleppo (337-334 H / 948-957 M)
Pada fase kedua atau disebut sebagai fase al-Azamah yang dimulai sejak pertemuannya dengan Sayf Ad-Daulah di Antiokia melalui perantara Abu al-Asyair pada tahun 337H/948M. pada pertemuan itu Sayf Ad-Daulah sangat terkesan dengan syair yang dibacakan al-Mutanabbi kemudian ia memintanya untuk pergi bersamanya ke Aleppo agar menjadi penyair istananya. Al-Mutanabbi memenuhi permintaan itu dengan beberapa syarat yakni; pertama ia membawakan puisinya tidak dalam keadaan berdiri. Kedua, ia tidak mau bersujud kepada Sayf Ad-Daulah dan ketiga Sayf Ad-Daulah harus membayar 3000 dinar pertahun. Akhinya Sayf Ad-Daulah memenuhi ketiga persyaratan tersebut dan sejak saat itu ia resmi menjadi penyair istana.
c)      Fase ketiga bersama Kafur di Mesir (346-350 H / 947-962 M)
Fase ke tiga dalam kehidupanya sebagai penyair disebut sebagai fase Ghayah al- Nudji. Ini dimuali sejak kedatangannya ke Mesir lebih tepatnya Iskandariyah untuk memuji penguasa yang ada disana yakni Kafur al-Ikhsyidi. Di sana ia tinggal cukup lama membacakan puisi madhnya untuk Kafur dengan harapan ia memperoleh imbalan yang sama seperti yang di berikan Sayf Ad-Daulah. Namun setelah beberapa tahun tinggal di Mesir dengan tangan hampa al-Mutanabi merasa kecewa, sedih dan putus asa sehingga memutuskan untuk berperang dengan Kapur dengan cara membuat puisi Hija’.
d)      Fase  ke empat di Irak dan di Persia (350-354 H / 962-965 M.)
Ia masih merasa belum cukup dengan segala harta, materi serta hadiah yang telah diperolehnya. Maka dari itu dari Mesir al-Mutanabi menuju Kufah, disana Ia singgah sebentar dan turut serta dalam peperangan melawan pemberontak Qaramithah dan bani Kilab. Dari sana ia menuju Bagdad yang ketika itu dikuasai bani Buwaih dengan wazirnya al-Muhalabi. Disana ia sempat membuat puisi madh untuk wazir dan hal ini membuat penyair istana lainnya cemburu dan menghatamnya dengan puisi hija’. Sadar dan merasa tidak nyaman tinggal di Bagdad ia kembali lagi ke Kufah untuk sekaligus menemui utusan Sayf Ad-Daulah yang membawa banyak hadiah serta undangan untuk kembali ke Aleppo tetapi ditolaknya dengan halus. al-Mutanabi malah pergi ke Arrijan memenuhi undangan Ibnu al-Amid, kemudian ke Syiraz memenuhi undangan Adlid al-Daulah al-Buwaihi. Di Syiraz ia memperoleh hadiah banyak harta dari Adlid al-Daulah al-Buwaihi, namun al-Mutanabi meminta izin untuk berjiarah ke Bagdad bersama anaknya Muhsid dan budaknya Muflih yang membawa seluruh hartanya. Dalam perjalanan ia dicegat oleh Fatik bin abi al Jahl al-Asadi bersama rombongan 70 orang, yang sakit hati karena keponakannya Dlabah bin Yazid al A’yni dihina oleh puisi hijanya dan dideskriditkan oleh itu. Dan mereka bertempur di sebuah daerah beernama shafiyah dekan Nu’maniyah. Lalu al-Mutanabbi meninggal pada pertempuran itu pada tahun 354H/965M.[1]

B.     Kesastrawanan Al-Mutanabbi
Salah satu syair al mutanabbi yang mengandung madh yang ditujukan kepada khalifah syaif ad daulah:
(1) إذا فاتوا الرّماح تناولتهم             بأرماح من العطش القفار
Jika tombak itu tidak mengenai mereka, maka tanah kosong dan kehausanlah yang akan menjadi tombak bagi mereka.
(2) يرون الموت قداما وخلفا       فيختارون والموت اضطرارا
Mereka melihat kematian yang berada didepan dan belakang, lalu mereka berusaha memilih, sedangkan kematian itu sifatnya memaksa.
(3) إذا سلك السماوة غير هاد       فقتلاهم لعينيه المنار
Jika seorang yang tanpa petunjuk melewati tempat yang tinggi, maka orang yang dibawahnya bagaikan bendera di depan matanya.
(4) ولو لم تبق لم تعش البقايا            وفى الماضى لمن بقي اعتبار
Dan jika kamu tidak menyisakan mereka, maka kamu tidak akan hidup selamanya, dan pada waktu yang lampau bagi orang yang masih hidup itu manjadi sebuah pelajaran.
(5) إذا لم يرع سيّدهم عليهم              فمن يرعى عليهم أو يغار
(6) تفرقهم وإياه السجايا                   ويجمعهم وإياه النجار
Ketika tuan mereka tidak menjaga mereka, maka siapa lagi yang akan menjaga mereka, atau pasukan besar yang akan memecah belah watak mereka dan tuannya. Kemudian tukang kayulah yang mengumpulkan mereka.
(7) ومال بها على أرك وعرض        وأهل الرقتين لها مزار[2]
Dan dia menuju pada daerah ark dan ard dengan menggunakan kuda yang cerdik

C.     Analisis Muatan Sastra

a). Tujuan dan Perihal Syi’ir ( والمناسبة الغرض  (
1)      Pada bait pertama tujuan syi’irnya adalah madh dalam memuji keeolokan para tentara saif ad-daulah yang semangat dalam peperangan. Munasibahnya adalah ketika mereka semua datang dengan membawa tombak dan pedang  dalam suatu peperangan dengan gigihnya.
2)      Pada bait keduapun masih mengandung tema dan tujuan yang sama dengan bait yang pertama, yaitu memuji keberanian para tentara syaif ad daulah yang siap mati dalam berperang. Adapun munasibahnya saat mereka berperang, mereka tidak takut mati walau kematian ada di arah depan dan belakang mereka dan tidak ada pilihan lain. Karena keyakinan mereka bahwa sebuah kematian adalah bukan pilihan, kematian mempunyai jalan sendiri.
3)      Sedangkan pada bait ketiga, tujuan syi’irnyapun masih sama, namun ditujukan pada syaif ad daulah. Disini syaif ad daulah sebagai petunjuk dalam berperang. Karena dalam berperang jika tanpa petunjuk (pemimpin) mereka akan tersesat (tidak tau arah). Jadi madh ditujukan pada syaif ad daulah yang merupakan tokoh pemimpin yang bisa memberi petunjuk kepada para tentara.
4)      Adapun pada bait ke empat tujuan syi’irnya lebih pada hikmah. Yang hikmah ini ditujukan kepada syaif ad daulah agar ia bisa mengambil pelajaran dari pengalaman orang-orang yang sudah mati (tentara yang sudah mati). Adapun munasibahnya jika syaif tidak menyisakan seorangpun dari para tentaranya maka tak aka nada yang melindunginya.
5)      Pada bait kelima tujuannya sama dengan bait ke empat yaitu hikmah. Hikmah untuk syaif ad daulah agar ia menjaga para tentaranya, karena tidak akan ada yang bisa menjaga mereka (para tentara) selain syaif ad daulah sendiri. Dan bila tidak dijaga, para musuh yang akan memecah belah mereka.
6)      Pada bait ke enam mengandung hikmah yang ditujukan kepada syaif ad daulah. Munasibahnya masih terkait dengan bait ke lima, yaitu ketika musuh memecah belah mereka maka hanya tukang kayulah yang …..
7)      Sedangkan dalam bait ke tujuh, tema dan tujuan kembali pada madh dalam memuji para tentara syaif ad daulah. Munasabihnya ketika para tentara menuju daerah ark dan ard dengan mengendarai kuda yang cerdik.

b). Analisi Kata (التحليل اللغوى)

1)      Kata المنار diartikan العلم ينصب فى الطريق . Disini diartikan sebagai bendera, jika seseorang tersesat pada hamparan langit,yang membuat tubuh orang itu mati dikuil manar, mereka mendapatkan petunjuk dan mengetahui jalan, seperti yang ditunjukkan oleh manar.
2)      Kata السجايا diartikan الطباع والاخلاق yang artinya tabi’at dan akhlak diartikan sebagai watak.
3)      Kata أرك وعرضberarti dua Negara yaitu ark dan ard.
4)      Kata الرقتين sebuah Negara yang didalamnya terdapat dua buah sungai الفرات,  yaitu الرقة والرافقة.

c). Pemilihan Gaya Bahasa (الصور البلاغية)
Disini Terdapat syibih baligh yaitu, yaitu syibih yang tidak menyebutkan adat tasybih dan wajah syibih yang terdapat pada kata:  الرماح (yang berarti tombak) dan عطش ( haus). Haus mengibaratkan sebuah tombak yang keduanya bisa menyebabkan pada kematian.

d). Perasaan (العاطفة               (
Pada bait-bait syi’ir al mutanabbi diatas tergambar bahwa al mutanabbi sangat memuji kegigihan para tentara syaif ad daulah dalam berperang. Ini bisa dilihat mulai bait pertama dan selanjutnya yang menggambarkan kegigihan para tentara saat mereka semua datang dengan membawa tombak dan pedang serta kecintaannya para tentara akan peperangan yang rela mati walau kematian ada didepan mata mereka. Begitu pula dengan bait selanjutnya yang masih terkait satu sama lain. Namun pada cuplikan bait ke empat dan selanjutnya, al mutanabbi mulai menyisipkan hikmah (menggunakan الوعط yakni menasehati) dari perjalanan tentara tersebut.

KESIMPULAN
Al-Mutanabbi merupakan penyair besar yang hidup di zaman ke emasan Islam pada masa Daulah Abbasiah. Pada masa kematangannya sebagai penyair dia sudah mempunya style, tema dan wasf baru yang khas dan diidentikan dengannya. Terlebih lagi kelebihannya dalam puisi madh dan puisi hija’ dengan minyisipkan amsal dan hikmah didalamnya. Itu merupakan sebuah inovasi yang baru dan mengesankan dalam khazanah puisi Arab setelah dilakukan oleh pendahulu-pendahulunya.
Dari beberapa cupikan syi’r diatas menggambarkan tentang pujian atas kegigihan dan keberanian para tentara syaif ad daulah (madh). Syi’ir tersebut menggunakan gaya bahasa yang sederhana dengan menyisipkan sebuah الوعط (menasehati).

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohman al barkuki, syarah diwan al mutanabi (Darul Kitab Al-Arabi, Beirut – Lebanon 1986)


[2] Abdurrohman al barkuki, syarah diwan al mutanabi (Darul Kitab Al-Arabi, Beirut – Lebanon 1986)

2 komentar:

  1. Syukron


    karena dengan adanya tulisan ini bisa membantu menyelesaikan tugas mata kuliah yang kami jadikan bagian dari referensi kami dalam tugas kami.

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum wr wb
    Alhamdulillah ini sekali dalam tugas kami.
    Apakah ada terjemahan semua bait yang ada dalam judul syair ini?

    BalasHapus