AL
MUTANABBI (Sastrawan Masa Abasiyyah)
Oleh: Heru
Prastyo Adi, Khotibul Umam, Fithrotun Mufidah, Nasirotul Alawiyah, Isti’adah
Zakiyah
PENDAHULUAN
Study
tokoh sastra arab merupakan sebuah study sastra yang pembahasanya memusatkan
pada biografi kehidupan tokoh-tokoh sastra arab, baik itu melingkupi pemikirannya,
karya-karyanya, kontibusi keilmuanya dan pengaruhnya terhadap sastrawan yang
hidup sejaman maupun generasi berikutnya. Dalam periodesasinya study tokoh
bahasa arab tidak terlepas dari sejarah sastra dan peradaban arab itu sendiri.
Pada masa pra islam kita mengenal ilmu ini dengan sebutan study tokoh sastra
arab jahili karena membahas biografi kehidupan tokoh-tokoh sastra arab pada
masa itu, selanjutnya pada masa Islam melalui beberapa masa perkembangan yakni masa
Rasulullah sampai Khulafaurasidin, masa Daulah Bani Umayah, masa keemasan
Daulah Abbasiah dan masa Turki Usmani disebut dengan study tokoh sastra arab
klasik. Setelah runtuhnya masa kesultanan Turki Usmani dan masuknya ekspansi Napoleon
Bonaparte ke Mesi, maka pada masa ini sudah menjajaki era modern sampai
sekarang dan kita mengenalnya dengan study tokoh sastra arab modern.
Pada
makalah ini penulis akan memaparkan study tokoh sastra arab klasik yang hidup
pada masa keemasan Islam yakni masa Daulah Abbasiyah. Pada masa ini hidup
seorang tokoh sastra yang bernama Ahmad bin Khusain bin Khasan al-Jufi atau
dunia lebih mengenalnya dengan sebutan al-Muatanabbi. Penulis menekankan pada
study biografinya, perjalanan kehidupan pengembaraannya yang selalu berpindah-pindah
tempat dalam rangka mencari kehidupan serta analisis karya sastranya (tujuan
dan perihal syi’ir, analisis kata, gaya bahasa serta perasaan).
PEMBAHASAN
A.
Al
Mutanabbi
1.
Biografi Al Mutanabbi
Al-Mutanabbi merupakan
salah satu penyair besar yang hidup pada masa dinasti Abbasiyah. Nama aslinya
adalah Ahmad bin Khusain bin Khasan al-Jufi. Beliau lahir tepatnya pada tahun
303H/915M. Ia lahir dari kalangan keluarga miskin didaerah Kindah, Kufah. Ayahnya
bernama Khusain bin Khasan bin Abdul al-Shamad, tetapi ada riwayat lain yang
mengatakan bahwa nama ayahnya adalah Muhamad bin Murrah bin Abdul Jabbar.
Sementara Ibunya seorang Hamdzaniyyah yang namanya tidak diketahui secara
jelas. Ayahnya bekerja sebagai penjual air keliling di kampungnya, sehingga
tidak aneh kalau mendapat gelar Abd al- Saqa.
Melihat
dari keadaan ekonomi keluarganya yang miskin, saat masih kecil Al-Mutanabi
mempunyai bakat kepenyairan yang hebat dan sudah terlihat. Melihat itu ayahnya
sangat bersikeras membanting tulang bekerja untuk membiayai masalah
pendidikannya dan berusaha mencarikan ulama yang mashur untuk dijadikan guru
dalam mendidik anaknya terutama dibidang bahasa dan sastra. Diantara para guru
beliau adalah Ibnu Siraj, Abu al-Hasan al-Akhfasy, al-Zajjaj, Abu Bakar Muhamad
bin Duraid dan Abu Ali al-Farisi.
Saat
dewasa bakatnya dalam bersyair sudah tak terjawantahkan lagi, ia bergumam untuk
menjadi seorang penyair sejati, dan bertekad untuk mencari penghidupan sebagai
seorang penyair dan menjual syair-syairnya kepada para penguasa dan orang-orang
kaya yang berduit. Sejak saat itu ia berusaha keras untuk mendekati para
penguasa untuk membacakan syair madhnya, ataupun membacakan syair hija’nya yang
sangat kuat dan luar biasa agar meraih simpati penguasa itu, sehingga ia
mencapai puncak kejayaannya sebagai penyair resmi istana pada masa Sayf
al-Daulah dari dinasti Khamdan di Aleppo, Syiria. Sepanjang karirnya,
al-Mutanabbi dikenal sebagai penyair handal dalam bidang puisi pujian (madh),
yakni satu ragam puisi pujian yang digunakan untuk menyanjung seseorang. Selain
itu ia handal di bidang puisi I’tidzar, ia juga sangat piawai dalam bidang
puisi hija’ dan ratapan. Oleh karena itu, Toha Husen, seorang kritikus sastra Arab
modern, mengatakan bahwa kedudukan al-Mutanabbi layaknya pemimpin para penyair
pada zamannya karena ketajaman puisinya.
Namun
dilain sisi kepiawaian dan kemasyhurannya dalam bersastra Al-Mutanabi memiliki
watak dan kepribadian jelek, pemikiranya keras, suka berubah-ubah tak tentu
arah, tidak mudah tunduk pada penguasa manapun, dan terlihat sombong. Ia
dikenal sebagai pemberontak mungkin karena banyak dari syair-syair hija’nya
yang keras secara blak-blakan mengkritisi penguasa setempat, terlebih lagi ia
pernah terlibat dalam gerakan politik Syiah Qaramatihah yang ekstrim. Akibatnya
ia tidak saja keluar masuk istana para penguasa akan tetapi ia juga keluar
masuk penjara.
Di dalam literatur sastra Arab disebutkan
bahwa al-Mutanabbi menjalani karirnya sebagai penyair madh dengan mencari
perlindungan kepada penguasa dalam lingkungan dinasti Abbasiyah. Pada awalnya
ia masuk dalam klan Tannukh dan keluarga Taghj mempersembahkan puisi madhnya,
kemudian ia memuji Badr bin Amar dan Abu al-‘Asyair, berikutnya adalah Saif
al-Daulah, penguasa dinasti Hamdaniyah; Kafur, penguasa dinasti Ikshidiyah, dan
Adad ad-Daulah, penguasa sentral dinasti Abbasiyah dari keluarga Buwaih. Semua
itu dilakukan semata-mata bukan untuk mencari perlindungan akan tetapi untuk
mencari penghidupan dengan membacakan dan menjual syair pujiannya itu.
2.
Penamaan Al Mutanabbi
Al-Mutanabbi
sendiri bukanlah berasal dari pemberian orang tuanya, namun nama ini diberikan
oleh orang orang lain sejak mudanya, dari sinilah muncul berbagai versi yang
mengakibatkan kontroversi di kalangan masyarakat. Sebagaimana disebutkan,
secara leksikal kata “al-Mutanabbi” berarti orang yang mengaku dirinya sebagai
Nabi. Tetapi menurut seorang ahli sejarah (Imam al-Khatib al-Baghdadi)
mengatakan bahwa Abu Tayyib yang tak lain adalah al-Mutanabbi digelari Al
Mutanabbi karena berasal dari keturunan keluarga Alawi Hasani (Keturunan Ali
bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali bin Abi Thalib) dan kemudian mengaku sebagai
Nabi, pengakuan ini dibuatnya ketika dia menetap di Kalb sebuah kampung di
Syria, tetapi setelah diteliti, ternyata pengakuan ini tidaklah benar.
Kisah
lain menyebutkan, pada suatu hari Abu Tayyib Ahmad diminta untuk mengendarai
unta betina liar oleh bani Adi (suku di Syria), bila dia berhasil maka dia akan
diakui sebagai Nabi, ternyata dia berhasil mengendarai unta itu dan membuatnya
menjadi binatang yang jinak, kejadian inilah yang membuat bani Adi yakin bahwa
Abu Tayyib mempunyai kekuatan tertentu yang sama dengan Nabi. Masih di sekitar
suku ini, cerita lain mengatakan, pada suatu hari ada seorang yang terluka
parah terkena pisau, kemudian Abu Tayyib hanya dengan meludahi bagian yang
terluka dan menekannya dengan kuat sehingga luka itu sembuh. Peristiwa itu
membuat suku kabilah Adi semakin yakin bahwa dia adalah Nabi. Cerita yang tak
kalah serunya adalah pengakuan dirinya sebagai Nabi, ketika Abu Tayyib membaca
114 kalimat dari Al Quran dan memperlihatkan kemukjizatannya kepada orang orang
yaitu dengan menahan derasnya air hujan yang turun agar tidak membasahi tempat
dimana ia berdiri, ternyata memang benar bahwa hujan hanya turun di
sekelilingnya dan tidak membasahi tubuhnya, peristiwa inilah makin memperkuat
pengakuannya sebagai seorang Nabi. Menurut pakar bahasa dan ahli sastra Arab,
Ibrahim al-Yajizi, cerita dan kisah di atas tidak benar dan tidak berdasar.
Untuk membuktikan hal ini al-Yajizi kemudian mengumpulkan semua syair syair
al-Mutanabbi dalam sebuah buku berjudul “Diwan al-Mutanabbi” yaitu kumpulan
syair-syair al-Mutanabbi.
3.
Fase-fase perjalanan
kepenyairannya
a)
Fase pertama;
Petualangannya di Syam (321-336 H / 933-948 M)
Pada fase ini yakni memaparkan kehidupannya
yang dimulai setelah di keluar dari penjara dan mulai mengembara di Syam untuk
muji para penguasa dan pembesar saat itu. Di Syam al-Mutanabi belajar ilmu
bahasa dan retorika kepada para ahlinya sehingga kepiawaianya dalam berbahasa
dan berretorika sangat terkenal dan sulit dicari tandingannya. Ada yang menarik
pada fase ini ia yaitu beliau dua kali keluar masuk penjara dikarenakan
keserakahannya akan kekuasaan. Beliau menyerukan kepada para pendukungnya untuk
membaiatnya atas kepiawaian bersastra beliau dan pengklaiman dirinya sebagai
seorang nabi.
b)
Fase kedua menjadi
penyair istana di Aleppo (337-334 H / 948-957 M)
Pada fase kedua atau disebut sebagai fase
al-Azamah yang dimulai sejak pertemuannya dengan Sayf Ad-Daulah di Antiokia
melalui perantara Abu al-Asyair pada tahun 337H/948M. pada pertemuan itu Sayf
Ad-Daulah sangat terkesan dengan syair yang dibacakan al-Mutanabbi kemudian ia
memintanya untuk pergi bersamanya ke Aleppo agar menjadi penyair istananya.
Al-Mutanabbi memenuhi permintaan itu dengan beberapa syarat yakni; pertama ia
membawakan puisinya tidak dalam keadaan berdiri. Kedua, ia tidak mau bersujud
kepada Sayf Ad-Daulah dan ketiga Sayf Ad-Daulah harus membayar 3000 dinar
pertahun. Akhinya Sayf Ad-Daulah memenuhi ketiga persyaratan tersebut dan sejak
saat itu ia resmi menjadi penyair istana.
c)
Fase ketiga bersama
Kafur di Mesir (346-350 H / 947-962 M)
Fase ke tiga dalam kehidupanya sebagai penyair
disebut sebagai fase Ghayah al- Nudji. Ini dimuali sejak kedatangannya ke Mesir
lebih tepatnya Iskandariyah untuk memuji penguasa yang ada disana yakni Kafur
al-Ikhsyidi. Di sana ia tinggal cukup lama membacakan puisi madhnya untuk Kafur
dengan harapan ia memperoleh imbalan yang sama seperti yang di berikan Sayf
Ad-Daulah. Namun setelah beberapa tahun tinggal di Mesir dengan tangan hampa
al-Mutanabi merasa kecewa, sedih dan putus asa sehingga memutuskan untuk
berperang dengan Kapur dengan cara membuat puisi Hija’.
d)
Fase ke empat di Irak dan di Persia (350-354 H /
962-965 M.)
Ia
masih merasa belum cukup dengan segala harta, materi serta hadiah yang telah
diperolehnya. Maka dari itu dari Mesir al-Mutanabi menuju Kufah, disana Ia
singgah sebentar dan turut serta dalam peperangan melawan pemberontak
Qaramithah dan bani Kilab. Dari sana ia menuju Bagdad yang ketika itu dikuasai
bani Buwaih dengan wazirnya al-Muhalabi. Disana ia sempat membuat puisi madh
untuk wazir dan hal ini membuat penyair istana lainnya cemburu dan menghatamnya
dengan puisi hija’. Sadar dan merasa tidak nyaman tinggal di Bagdad ia kembali
lagi ke Kufah untuk sekaligus menemui utusan Sayf Ad-Daulah yang membawa banyak
hadiah serta undangan untuk kembali ke Aleppo tetapi ditolaknya dengan halus.
al-Mutanabi malah pergi ke Arrijan memenuhi undangan Ibnu al-Amid, kemudian ke
Syiraz memenuhi undangan Adlid al-Daulah al-Buwaihi. Di Syiraz ia memperoleh
hadiah banyak harta dari Adlid al-Daulah al-Buwaihi, namun al-Mutanabi meminta
izin untuk berjiarah ke Bagdad bersama anaknya Muhsid dan budaknya Muflih yang
membawa seluruh hartanya. Dalam perjalanan ia dicegat oleh Fatik bin abi al
Jahl al-Asadi bersama rombongan 70 orang, yang sakit hati karena keponakannya
Dlabah bin Yazid al A’yni dihina oleh puisi hijanya dan dideskriditkan oleh
itu. Dan mereka bertempur di sebuah daerah beernama shafiyah dekan Nu’maniyah.
Lalu al-Mutanabbi meninggal pada pertempuran itu pada tahun 354H/965M.[1]
B.
Kesastrawanan
Al-Mutanabbi
Salah
satu syair al mutanabbi yang mengandung madh yang ditujukan kepada khalifah
syaif ad daulah:
(1) إذا فاتوا الرّماح تناولتهم بأرماح من العطش القفار
Jika tombak itu tidak mengenai
mereka, maka tanah kosong dan kehausanlah yang akan menjadi tombak bagi mereka.
(2) يرون الموت قداما وخلفا
فيختارون والموت اضطرارا
Mereka melihat kematian yang berada
didepan dan belakang, lalu mereka berusaha memilih, sedangkan kematian itu
sifatnya memaksa.
(3) إذا سلك السماوة غير هاد
فقتلاهم لعينيه المنار
Jika seorang yang tanpa petunjuk
melewati tempat yang tinggi, maka orang yang dibawahnya bagaikan bendera di depan
matanya.
(4) ولو لم تبق لم تعش البقايا
وفى الماضى لمن بقي اعتبار
Dan jika kamu tidak menyisakan
mereka, maka kamu tidak akan hidup selamanya, dan pada waktu yang lampau bagi
orang yang masih hidup itu manjadi sebuah pelajaran.
(5) إذا لم يرع سيّدهم عليهم فمن يرعى عليهم أو يغار
(6) تفرقهم وإياه السجايا
ويجمعهم وإياه النجار
Ketika tuan mereka tidak menjaga
mereka, maka siapa lagi yang akan menjaga mereka, atau pasukan besar yang akan
memecah belah watak mereka dan tuannya. Kemudian tukang kayulah yang
mengumpulkan mereka.
Dan dia menuju pada daerah ark dan
ard dengan menggunakan kuda yang cerdik
C.
Analisis
Muatan Sastra
a). Tujuan
dan Perihal Syi’ir ( والمناسبة الغرض (
1)
Pada bait pertama
tujuan syi’irnya adalah madh dalam memuji keeolokan para tentara saif ad-daulah
yang semangat dalam peperangan. Munasibahnya adalah ketika mereka semua datang
dengan membawa tombak dan pedang dalam
suatu peperangan dengan gigihnya.
2)
Pada bait keduapun
masih mengandung tema dan tujuan yang sama dengan bait yang pertama, yaitu memuji
keberanian para tentara syaif ad daulah yang siap mati dalam berperang. Adapun
munasibahnya saat mereka berperang, mereka tidak takut mati walau kematian ada
di arah depan dan belakang mereka dan tidak ada pilihan lain. Karena keyakinan
mereka bahwa sebuah kematian adalah bukan pilihan, kematian mempunyai jalan
sendiri.
3)
Sedangkan pada bait
ketiga, tujuan syi’irnyapun masih sama, namun ditujukan pada syaif ad daulah.
Disini syaif ad daulah sebagai petunjuk dalam berperang. Karena dalam berperang
jika tanpa petunjuk (pemimpin) mereka akan tersesat (tidak tau arah). Jadi madh
ditujukan pada syaif ad daulah yang merupakan tokoh pemimpin yang bisa memberi
petunjuk kepada para tentara.
4)
Adapun pada bait ke
empat tujuan syi’irnya lebih pada hikmah. Yang hikmah ini ditujukan kepada
syaif ad daulah agar ia bisa mengambil pelajaran dari pengalaman orang-orang
yang sudah mati (tentara yang sudah mati). Adapun munasibahnya jika syaif tidak
menyisakan seorangpun dari para tentaranya maka tak aka nada yang
melindunginya.
5)
Pada bait kelima
tujuannya sama dengan bait ke empat yaitu hikmah. Hikmah untuk syaif ad daulah
agar ia menjaga para tentaranya, karena tidak akan ada yang bisa menjaga mereka
(para tentara) selain syaif ad daulah sendiri. Dan bila tidak dijaga, para musuh
yang akan memecah belah mereka.
6)
Pada bait ke enam
mengandung hikmah yang ditujukan kepada syaif ad daulah. Munasibahnya masih
terkait dengan bait ke lima, yaitu ketika musuh memecah belah mereka maka hanya
tukang kayulah yang …..
7)
Sedangkan dalam bait ke
tujuh, tema dan tujuan kembali pada madh dalam memuji para tentara syaif ad
daulah. Munasabihnya ketika para tentara menuju daerah ark dan ard dengan
mengendarai kuda yang cerdik.
b).
Analisi Kata (التحليل اللغوى)
1)
Kata المنار diartikan العلم ينصب فى الطريق
. Disini diartikan sebagai
bendera, jika seseorang tersesat pada hamparan langit,yang membuat tubuh orang
itu mati dikuil manar, mereka mendapatkan petunjuk dan mengetahui jalan,
seperti yang ditunjukkan oleh manar.
2)
Kata السجايا diartikan الطباع والاخلاق yang artinya tabi’at dan akhlak diartikan sebagai watak.
3)
Kata أرك وعرضberarti
dua Negara yaitu ark dan ard.
4)
Kata الرقتين sebuah Negara yang didalamnya terdapat dua buah sungai الفرات, yaitu الرقة والرافقة.
c).
Pemilihan Gaya Bahasa (الصور البلاغية)
Disini Terdapat syibih baligh yaitu, yaitu syibih yang
tidak menyebutkan adat tasybih dan wajah syibih yang terdapat pada kata: الرماح (yang berarti tombak) dan عطش ( haus). Haus mengibaratkan sebuah tombak yang keduanya bisa
menyebabkan pada kematian.
d). Perasaan (العاطفة (
Pada bait-bait syi’ir al mutanabbi diatas tergambar bahwa al
mutanabbi sangat memuji kegigihan para tentara syaif ad daulah dalam berperang.
Ini bisa dilihat mulai bait pertama dan selanjutnya yang menggambarkan
kegigihan para tentara saat mereka semua datang dengan membawa tombak dan
pedang serta kecintaannya para tentara akan peperangan yang rela mati walau
kematian ada didepan mata mereka. Begitu pula dengan bait selanjutnya yang
masih terkait satu sama lain. Namun pada cuplikan bait ke empat dan
selanjutnya, al mutanabbi mulai menyisipkan hikmah (menggunakan الوعط yakni menasehati) dari
perjalanan tentara tersebut.
KESIMPULAN
Al-Mutanabbi
merupakan penyair besar yang hidup di zaman ke emasan Islam pada masa Daulah
Abbasiah. Pada masa kematangannya sebagai penyair dia sudah mempunya style,
tema dan wasf baru yang khas dan diidentikan dengannya. Terlebih lagi
kelebihannya dalam puisi madh dan puisi hija’ dengan minyisipkan amsal dan
hikmah didalamnya. Itu merupakan sebuah inovasi yang baru dan mengesankan dalam
khazanah puisi Arab setelah dilakukan oleh pendahulu-pendahulunya.
Dari
beberapa cupikan syi’r diatas menggambarkan tentang pujian atas kegigihan dan
keberanian para tentara syaif ad daulah (madh). Syi’ir tersebut menggunakan
gaya bahasa yang sederhana dengan menyisipkan sebuah الوعط (menasehati).
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrohman
al barkuki, syarah diwan al mutanabi (Darul Kitab Al-Arabi, Beirut – Lebanon
1986)
Syukron
BalasHapuskarena dengan adanya tulisan ini bisa membantu menyelesaikan tugas mata kuliah yang kami jadikan bagian dari referensi kami dalam tugas kami.
Assalamualaikum wr wb
BalasHapusAlhamdulillah ini sekali dalam tugas kami.
Apakah ada terjemahan semua bait yang ada dalam judul syair ini?